GALUNGAN & KUNINGAN METODA PRAKTIS MERAIH KEMENANGAN
Perayaan Hari Galungan dan Kuningan ini bukan semata
praktis spiritual belaka, ternyata ada sebuah Pendekatan atau metoda
sistimatis yang mengantarkan kita meraih kemenangan (kesuksesan).
***
Hari Raya Galungan, salah satu hari besar agama Hindu di Indonesia untuk merayakan kemenangan Kebaikan (Dharma) melawan Kebatilan (Adharma).
Hari Raya ini jatuh pada Hari Rabu Kliwon Dungulan menurut Kalender
Bali.
Muncul berbagai pertanyaan .., kenapa ada banyak rangkaian
upacara yang dilalui sebelum mencapai puncak perayaan, Buddha Kliwon
Dungulan?. Adakah peninggalan leluhurku ini memberikan sebuah pelajaran
yang bisa aku gunakan untuk menjalani kehidupan di era modernisasi?.
Pernah aku dengar penuturan seorang sepuh di kampungku, saat sekolah
belum begitu merakyat, Para Suci, Para Guru Agung menyelipkan setiap
inti pelajaran hidup dalam aktivitas spritual, sehingga ketika umatnya
melakukan aktivitas sepiritual sekaligus mendapatkan pemahaman
filosofisnya. Beliau mengajarkan kami untuk memasuki ranah praktis dan
menemukan mutiara-mutiara hidup di dalam praktik kehidupan sehari-hari, learning by doing, learn from the experiences.
Sistem pengajarannya terbalik, saat melakukan sesuatu kita dipancing
untuk bertanya, sambil membimbing kita mengerjakan aktivitas itu para
sepuh menjelaskan makna dan tujuannya. Berbeda dengan sistim pengarajan
di sekolah saat ini, kita diajarkan teori baru praktis. Kelemahannya
para pelajar bisa pandai bicara tapi lemah dalam praktis. Rasa penasaran
mulai mengunjungi batinku.
Aku mengingat-ingat kembali rangkaian upacara Hari Galungan, kucoba
merenunginya. Dalam perenunganku, tiba-tiba batin ini seolah berbisik:
“Bila kita ingin menang (pertarungan di dalam diri), maka kita harus
hidup terlebih dahulu, karena kemenangan hanya bisa diraih dan dinikmati
oleh orang yang masih hidup. Untuk hidup kita perlu makan, pakaian dan
tempat tinggal. Makanan kita dapatkan dari tetumbuhan (padi, gandum,
sayur, bumbu dan buah-buahan), sandang (kapas untuk benang dan kain),
kayu untuk membangun rumah. Tumbuhan juga memberikan kita oksigen,
peneduh, penyimpan air. Tumbuhan menjadi makanan bagi hewan yang
menjadi sumber protein hewani, menjadi alat trasportasi, dan peliharaan
bagi manusia. Bila tetumbuhan tidak ada, kita tidak bisa hidup, pendek
kata banyak sekali jasa tetumbuhan pada kita, maka sudah seharusnya kita
berterimakasih pada tetumbuhan. Rasa terimakasih ini diwujudkan dengan
mendoakan mereka agar mereka mendapatkan peningkatan dan kesejahteraan.
Pantas saja, mendoakan mereka merupakan awal rangkaian untuk merayakan
Galungan. Berterimakasih Pada Tuhan yang telah menciptakan tetumbuhan,
pada hari Tumpek Pengarah, 25 hari sebelum hari Galungan)
Selain tumbuhan apa yang memberikan kontribusi penting bagi kehidupan kita sebagai manusia? Lima unsur (tanah, udara, air, api dan ruang) yang dikenal pula dengan nama panca maha butha.
Tanah tempat dimana kita lahir, hidup dan berkembang. Kedua Udara, zat
yang sangat dibutuhkan untuk bernafas, manusia hidup karena masih
bernafas. Unsur ketiga adalah Air, menurut ilmu biologi, salah satu ciri
mahluk hidup adalah membutuhkan air. Air membentuk tubuh manusia lebih
dari 70%, air sangat dibutuhkan dalam kehidupan kita. Unsur keempat
Panas/Cahaya, seperti halnya reaksi kimia yang bisa berlangsung pada
suhu dan tekanan tertentu, demikian pula proses metabolisme di dalam
tubuhpun membutuhkan panas (suhu tertentu), panas tubuh bisa didapatkan
melalui makanan dan pernafasan, makanya ketika kita puasa (tidak makan
dan minum) tangan terasa dingin. Tubuh manusia yang masih hidup hangat,
sementara mayat dingin dan kaku. Bagaimana dengan ruang? Agar makanan,
minuman, udara bisa masuk ke dalam tubuh kita, perlu rongga mulut,
kerongkongan, perut, rongga dada, pembuluh darah, jantung, dll. Kalo
tidak ada ruang, tidak ada kehidupan, tidak ada pertumbuhan. Mungkin ini
pula alasan kenapa ruang juga disimboliskan sebagai pencerahan. Ruang
bisa memberikan segala sesuatu untuk masuk dan bertumbuh (room for improvement).
Untuk itu bila kita ingin mencapai kemenangan, maka kita wajib
berterimakasih kepada tanah, udara, air, api dan ruang. Secara spritual
diadakan upacara caru (Anggara Kasih Julungwangi), secara fisik kita wujudkan dengan menjaga dari prilaku yang tidak baik dan tidak mencemarinya.
Perjuangan menuju kemenangan akan mudah bila kita mampu
mengkonsentrasikan energi dan pikiran. Pikiran dan energi bisa
dipusatkan lebih baik pada kondisi lingkungan di luar diri dan di dalam
diri yang bersih. Bayangkan bila lingkungan disekitar terdapat sampah
berbau busuk bertebaran dimana-mana, apakah mungkin kita
mengkonsentrasikan pikiran dengan baik? Bayangkan pula bila badan ini
penuh dengan kotoran, kitapun sulit untuk mengkonsentrasikan energi dan
pikiran dalam melakukan setiap aktivitas profesi yang kita geluti. Oleh
karenanya, melakukan pembersihan lingkungan di luar diri kita (baca:
Alam Semesta beserta isinya/Buana Agung) wajib dilakukan, secara
spritual dengan upacara pada hari Kamis, Wage Sungsang yang dikenal
dengan Sugian Jawa. Pembersihan diri (Buana Alit) dilakukan pada hari Jumat Kliwon Sungsang yang dikenal dengan Sugian Bali.
Untuk meraih suatu kemenangan, tantangan selalu akan ada. Walaupun
lingkungan di dalam diri (tubuh fisik) dan di luar diri (alam sekitar)
telah dibersihkan, godaan (threats) belumlah habis. Tantangan yang
terberat itu datang dari dalam diri (sifat-sifat negatif). Seperti
Keinginan untuk berkelahi atau berperang, keinginan ini kalau tidak
terkendali akan mendorong pada menghalalkan segala perang untuk
kemenangan diri sendiri, sepak sana, terjang sini, tidak peduli dengan
kepentingan dan penderitaan mahluk lain. Kekuatan ini disimboliskan
dengan Butha Galungan, Butha=Kekuatan, Galung=Perang (dalam bahasa Kawi) .
Untuk mengendalikannya kita memohon kepada Tuhan (Siwa) pada hari
penyekeban, Redite Paing Dungulan. Kita boleh bersaing dalam setiap sisi
kehidupan namun janganlah sampai mengorbankan orang lain demi meraih
cita-cita kita. Hari ini kita menguatkan tekad (nyekeb) untuk
menaklukkan semua sifat-sifat negatif dalam diri, disebut pula dengan Penyekeban
Tantangan berikutnya adalah keinginan untuk selalu menaklukkan orang
lain. Keinginan ini bila tidak terkendali akan menggiring kita pada
cara-cara yang tidak etis. Dalam bahasa Kawi, menaklukkan=Dungul,
kecendrungan/sifat manusia ini disimboliskan dengan Butha Dungulan .
Salah satu contoh kecilnya, mau menang sendiri (egois). Membuat
canang/aturan yang mewah dengan tujuan untuk dipuji sebagai paling
bagus. Hari ini biasanya para ibu membuat kue-kue (jaja) kering
persiapan perayaan. Oleh karenanya hari ini disebut pula dengan Penyajaan
Yang tak kalah hebatnya memalingkan diri kita dari jalur kebenaran
adalah keinginan untuk berkuasa, bila sifat ini tidak dikendalikan
dengan baik, ia akan menggiring kita pada jurang kehancuran, bukan
kemenangan (baca: Kebahagiaan). Berkuasa dalam bahasa Kawi disebut
(Amangkurat) , sifat ingin berkuasa ini disimboliskan dengan Butha Amangkurat.
Selain itu sifat yang paling sulit untuk dikendalikan adalah sifat
tamas atau malas, sifat ini harus dipotong bila kita ingin meraih
kemenangan (sukses),hal ini disimboliskan dengan memotong Babi, karena
babi adalah simbol binatang yang malas. Hari ini disebut dengan Penampahan (nampah=mematikan sifat-sifat negatif).
Ketika kita telah mampu membersihkan kekotoran secara fisik, mampu
mengendalikan sifat-sifat negatif selanjutnya kita lebih memantapkan
pikiran/niat (nyujatian kayun) dengan mengaturkan pejati di sore hari dan memasang Penjor. Penjor
ini memiliki banyak makna. Melihat bahan-bahan yang dirangkai membentuk
Penjor, saya meyakini sebagai simbol yang bisa memantapkan dan
mengingatkan kita bahwa, untuk menang kita harus bisa bertahan hidup.
Untuk bisa bertahan hidup kita membutuhkan pangan (hasil bumi), sandang
(kain yang dililit pada penjor), papan (bambu), pengetahuan spritual
dan sekular yang bersumber dari Kitab Suci Veda. Menurut Bhagawan Dwija,
Veda disimboliskan dengan; lamak simbol Reg Weda,bakang-bakang simbol
Atarwa Weda, tamiang simbol Sama Weda, dan sampian simbol Yayur Weda. Di
samping itu penjor juga simbol ucapan terima kasih ke hadapan Hyang
Widhi karena sudah dianugerahi kecukupan sandang pangan yang disimbolkan
dengan menggantungkan beraneka buah-buahan, umbi-umbian, jajan, dan
kain putih kuning.Pada sandyakala segenap keluarga mabeakala, yaitu upacara pensucian diri untuk menyambut hari raya Galungan.
Buah manis semua perjuangan diatas, kita bisa memetik kemenangan,
memenangkan kebenaran di dalam diri dan dalam kehidupan kita, pada hari Galungan.
Kemenangan ini patut dirayakan dengan menghaturkan rasa terimakasih
berupa persembahan dan persembahyangan kepada Para Leluhur dan Tuhan
dengan segala manifestasinya.
Dalam prosesi meraih kemenangan ini dan sebagai manusia biasa, tentu
saja kita tidak bisa lepas dari kekurangan yang menghantar kita pada
kesalahan, atau kekeliruan dalam berfikir, berkata maupun dalam berbuat.
Oleh karena itu kita mesti memohon maaf secara lahir dan batin (mesila krama)
kepada keluarga, sanak saudara, teman-teman, tetangga, rekan kerja, dan
masyarakat sekitarnya. Sehingga kebahagiaan ini akan terasa manis. Hari
ini disebut dengan Manis Galungan.
Meraih prestasi lebih mudah dari pada mempertahankan prestasi, karena
seringkali sifat sombong manusia menghampiri manakala ia berhasil,
untuk itu kemenangan atau keberhasilan ini harus dipertahankan dengan
memohon anugrah dari Tuhan dalam manifestasi-Nya dari segala penjuru
arah mata angin (Nawa Sangga) dengan melakukan tapa brata selama
sembilan hari, mulai hari Manis Galungan Hingga penampahan Kuningan.
Keberhasilan melakukan tapa, brata selama sembilan hari, dirayakan
dengan membuat nasi kuning, pada hari Kuningan. menghaturkan rasa
terimakasih kepada Leluhur, Tuhan dan segala manifestasinya dengan
melakukan persembahyangan. Segala kebaikan yang telah dipupuk hendaknya
tetap dipertahankan selama 35 hari sejak hari Galungan. Bila segala
sesuatu dilakukan secara terus-menerus selama 35 hari maka dia akan
menjadi habit atau kebiasaan. Dengan kata lain kebaikan/kebenaran telah
menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Akhir dari 35 hari ini
disebut dengan Pegatuwakan. Pegat artinya berpisah, dan
uwak artinya kelalaian. Jadi pegat uwakan artinya jangan lalai
melaksanakan dharma dalam kehidupan seterusnya setelah Galungan .
Seiring dengan berjalannya sang waktu, kebiasaan kemungkinan bisa
luntur, oleh karenanya perlu diingatkan kembali (refresh), inilah
mungkin alasan kenapa Galungan dan Kuningan kemudian dirayakan secara
berulang, setiap enam bulan sekali.
Jadi, perayaan Hari Galungan dan Kuningan ini bukan semata praktis
spiritual belaka, ternyata ada sebuah pendekatan atau metoda sistimatis
yang mengantarkan kita meraih kemenangan (kesuksesan).
sumber : Made Mariana
SEMETON DEWATA BULDOG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar